Selasa, 31 Mei 2011

TARANOATE

Ternate



BAB I
Lingkungan Hukum – Adat Ternate



Pendahuluan.

Oleh karena banyak sarjan-sarjana yang telah menulis tentang hukum Adat di Indonesia, tetapi belum banyak yang menulis tentang “Hukum Adat Ternate”.

Penulis-penulis terkenal yang dapat dicatat antara lain Van Vollenhoven, “Het Adatrecht Van Nederlands Indie” jilit I dan II, Mr. B. Ter Hear, “Beginselen en Stelsel Van Het Adatrecht” R. Van Rijk (terjemahan oleh R. Soekardi). “Pengantar Hukim Adat Indonesia” dr. Soekanto, “ Meninjau Hukum Adat Indonesia” dan lain-lain.

Mengingat pula bahwa istilah “Lingkungan Hukum Adat Ternate” telah dipergunakan oleh Van Volenhoven dalam bukunya tersebut; (percobaan sebuah studi Hukum International Regional di Indonesia).

Sebagaimana diketahui, bahwa hukum diadakan antara lain untuk mengatur hidup manusia dalam urusan mengamankan kepentingan-kepentingannya maupun memajukan kepentingan-kepentingannya. Dalam hubungan dengan ini timbul pertanyaan-pertanyaan “Apakah mungkin menetapkan hukum yang sedemikian, baiknya dalm kitab undang-undang?”. Untuk menjawab pertanyaan ini lebih dahulu harus selidiki bagaimana sebenarnya hukum itu timbul dal peradaban kita. Jika penyelidikan itu dilakukan dalam sajarah maka akan kita ketahui, bahwa hukum selalu timbul dari keyakinan rakyat, seperti juga bahasa dan susunan masyarakat.

-      Dr. E. Utrecht, Sejarah Hukum International di Bali dan Lombok, hal. 12 : Penerbit “Sumur Bandang” tahun 1962.



















II/ Prof . . .

Mula-mula hukum termasuk padanya (rakyat), hokum merupakan  bagian dari padanya. Kemudian ada perbedaan dalam golongan-golongan yang menyebabkan ada berbedaan yang satu dengan yang lain.#3

Beberapa waktu kemdian berdiri satu golongan ahli hukum. Hukum menjadi ilmu pengetahuan dan berhenti hidup melalui dalam pikiran rakyat. Tetapi sebagian adalah tetap hukum rakyat (volksrecht), meskipun sebagian lainya menjadi hukum dari pada sarjana hukum (juristenrecht).

Jadi disamping hukum yang wajar (jangan dicamprkan dengan hukum alam menurut akal) “ada hukum sarjana hukum” dan “hukum ahli hukum” (juristenrecht).

Hukum asli adalah hukum kebiaaan yang hidup pada rakyat adat dan kebiasaan adat inilah yang harus diselidiki oleh ilmu hukum.

Karena perundang-undangan bukan sumber yang asli. Maka orang harus berhemat dengannya. #4

Dari penjelasan diatas, dapatlah dimengerti bahwa sumber yang asli adalah keyakinan rakyat, yang dalam pergaulan sehari-hari membentuk “hukum kebiasaan”.

Hal 13 Von Schmid dalam bukunya yang telah disebutkan lebih dahulu – berkata : “Pada bangsa Romawi pun yang terkenal sebagai ahli-ahli dalam mengitabkan hukum-hukum berkembang mmenurut masyarakat, artinya sebagai hukum kebiasaan.  Cara yang tepat untuk mempelajari hukum tidaklah dimiliki oleh ahli hukum.#5

Khusus tentang tujuan penulisan ini, seperti telah dikemukakan dalam halaman 1 serta dengan menunjuk pula pada buku Von Schmied diatas halaman 64. Isi dan keadaan hukum akan dicari dengan mempelajari hukum pada waktu dan tempat-empat lain-lain terutama dengan menyelidiki bagaimana hukum itu berlaku sebagaimana adat disana, sebagai hidup  rohani masyarakat yang mengikat seluruh anggota masyarakat. #6

#3.    Prof. Nasroen S.H “ Dasar Falsafah Adat Minangkabau”. Tahun 1957 hal. 5.

#4.    Jhr. Dr. Von Schmid, “Pemikiran tentang Negara dan Hukum dalam
abad. 19” Terjemahan Boentaran, penrbit PT. Pembangunan Jakarta
1961, hal. 61 – 62.

#5.    Ibit hal. 13
#6.    Ibit hal. 64


   





           
Penyelidikan yang dilakukan penyusun dengan cara berdialok langsung dengan beberapa kepala-kepala adat ; yang dapat menjelaskan asal usul Soa.

Sesuai kenyataan sekarang di Maluku Utara banyak terdapat banyak kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa Soa. Sudah menjadi hukum adat pula bahwa pengangkatan kepala-kepala adat selalu  dilihat dari Soa mana calon itu berasal. Karena ada pangkat fungsi adat tertentu yang khusus boleh dijabat oleh Soa tertentu. Sebelum melanjutkan arti Soa dalam suasana rakyat (volkssfeer) baiklah dijelaskan arti Soa sesuai logika bahasa.

Dalam bahasa Ternate, Soa berarti satu ruang yang terdapat diantara dua benda berwujd. Dikatakan “Fala ma Soa” artinya ruang diantara dua rumah atau lebih. Adalah suatu konsekuensi logi jika rumah diterima sebagai tempat kkediaman suatu keluarga.

Mudah dimengeri bahwa suatu keluarga yang berkembang biak sehingga pada suatu saat, terdapat begitu banyak rumah disuatu tempat, sehingga untuk menentukan suatu tempat diantara sekian banyak rumah menjadi makin sulit.  Maka ucapan “Fala ma Soa” berubah menjadi Soa fala A dan B. Pada tingkat terakhir Soa Fala A dan Soa Fala B mengambil bentuk suau lembaga atau maksdnya dalam mana di tentukan keurunan A dan keturunan B. Kelanjutannya diucapkan Soa A, Soa B. Dimaksut keturunan keluarga A, keturunan keluarga B, dengan tata cara kehidupannya yang kemudian berkembang menjadi tata cara sekelompok masyarakat. Dari penjelasan singkat diatas dapat dikatakan bahwa Soa A adalah suatu persekutuan hukum, Soa B adalah suatu persekutuan hukum dan selanjunya, membentuk suatu persekutuan yang lebih besar.

Menciter kalimat “Anak mau saman jadi Moloku dan tuan sahabat menjadi Moloku Tobona dan Tuan Darajat menjadi Moloku Tubo, dapat dientukan bahwa pada mulanya hanya terdapat 3 (tiga) Soa yakni Soa Moloku, Soa Moloku Tobona dan Soa Moloku Tubo. Seperti telah disebutkan bahwa sesuai hukum adat bahwa pengangkatan kepala-kepala adat selalu harus dilihat dari Soa mana calon it berasal. Sampai kenyataan sekarang ini (menurut pengalaman penyusun) bahwa menempatkan seorang kepala adat baik di Ternate maupun di Halmahera selalu diinjau Soa Bapanya atau Sou Ibunya. Ini berarti bahwa zaman dahulu susunan masyarakat adalah “genealogis”. Karenanya adalah persekutuan hukum genealogis dam endogen. Sekareang ini dapat dikatakan bahwa Masyarakat Maluku Utara adalah pada umumnya persekutuan hukum genealogi territorial “disebabkan perpindahan keluarga-keluarga ke wilayah-wilayah lai dalam Maluku Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sukur dofu-dofu yang so sempat buka blog ini..